Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Gelar Seminar Nasional: Membangun Wacana Keadilan Biru dalam Hukum Kelautan dan Perikanan.

Surabaya, 20 Agustus 2025 — Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah (UHT) menggelar seminar nasional bertajuk “Membangun Wacana Keadilan Biru dalam Perkembangan Hukum Kelautan dan Perikanan” di Ballroom Gedung Pascasarjana UHT, Rabu (20/8). Acara ini menjadi forum strategis untuk membahas paradigma baru pembangunan maritim yang berkeadilan, berkelanjutan, dan inklusif, dengan melibatkan akademisi, praktisi hukum, pegiat lingkungan, serta instansi pertahanan dan kemaritiman.

Seminar ini turut dihadiri jajaran pimpinan Universitas Hang Tuah, termasuk Dekan Fakultas Hukum UHT, Dr. Budi Pramono, Drs., S.H., M.H., Wakil Rektor III Dr. Toto Dwijaya Saputra, S.T., M.Si.(Han)., M.Tr.Opsla., serta Prof. Dr. Chomariyah, S.H., M.H.,

Hadir pula perwakilan dari Koarmada II, Akademi Angkatan Laut (AAL), Puspenerbal, Kodiklatal, dan Koarmada V, Dekan Fakultas  Hukum Untag 1945 Surabaya serta Lembaga praktisi hukum lainnya di Surabaya .

Acara dibuka oleh Wakil Rektor I UHT, Dr. Widyastuti, drg., Sp.Perio., mewakili Rektor Universitas Hang Tuah yang berhalangan hadir. Dalam sambutannya, beliau menegaskan bahwa konsep Blue Justice atau keadilan biru adalah fondasi penting dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan Indonesia.

“Keadilan biru mengingatkan kita bahwa pembangunan sektor maritim tidak boleh sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi harus menegakkan prinsip keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, serta penghormatan terhadap hak-hak nelayan tradisional dan masyarakat pesisir. Hukum di sini berfungsi sebagai instrumen penting untuk memastikan keadilan itu benar-benar terwujud,” tegas Dr. Widyastuti.

Beliau juga menambahkan, seminar ini diharapkan tidak berhenti pada ruang diskusi akademik semata, tetapi mampu memberi kontribusi nyata dalam pembentukan kebijakan, penguatan hukum, dan praktek kelautan-perikanan yang berpihak pada ekologi dan masyarakat kecil.

Sebagai pemateri pertama Wakil Rektor II UHT, Laksda TNI (Purn) Dr. Iwan Isnurwanto, S.H., M.A.P., M.Tr.(Han)., menyoroti besarnya potensi ekonomi maritim Indonesia yang belum dioptimalkan secara maksimal.

Beliau menegaskan bahwa sektor kelautan masih dibayangi berbagai persoalan serius, mulai dari praktik penangkapan ikan ilegal (IUU Fishing), masuknya 14 juta ton limbah plastik ke laut setiap tahun, alih fungsi lahan pesisir, hingga minimnya perlindungan terhadap masyarakat nelayan.

Menurut Dr. Iwan, kebijakan nasional selama ini terlalu berorientasi pada peningkatan volume tangkapan dan ekspor hasil laut, tanpa memperhatikan nilai tambah industri serta perlindungan ekosistem laut.

“Kebijakan yang berfokus pada ekspor hasil tangkapan justru memperlebar ketidakadilan. Korporasi besar dan investor asing lebih diuntungkan, sementara masyarakat pesisir tetap berada di bawah garis kemiskinan,” paparnya.

Sebagai solusi, ia mendorong penerapan paradigma Blue Justice yang menekankan pemerataan distribusi manfaat ekonomi, pemulihan hak masyarakat pesisir, serta transparansi dalam pengambilan keputusan.

“Dengan paradigma keadilan biru, pembangunan maritim tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjamin keadilan sosial, keberlanjutan ekologi, serta kesejahteraan masyarakat pesisir,” tegasnya.

Sementara itu, Wahyu Eka Setyawan, S.Psi., M.Sc., Direktur Walhi Jawa Timur, memaparkan secara kritis tentang praktik trawl yang telah menimbulkan krisis multidimensional di sektor perikanan.

Dari aspek ekologi, trawl terbukti merusak dasar laut, menghancurkan habitat ikan, dan menghasilkan by-catch tinggi, termasuk biota laut yang dilindungi.

Dari aspek sosial, dominasi kapal trawl oleh pengusaha besar merugikan nelayan tradisional. Konflik horizontal pun kerap terjadi, bahkan hingga berujung pada aksi pembakaran kapal trawl oleh nelayan kecil karena lemahnya penegakan hukum.

Secara ekonomi, keuntungan dari praktik trawl hanya terkonsentrasi pada pemilik modal, sementara kerusakan lingkungan dan hilangnya mata pencaharian ditanggung oleh masyarakat pesisir kecil.

Dari sisi hukum, larangan penggunaan trawl sudah diatur sejak Keppres 39/1980 dan diperkuat dalam UU Perikanan. Namun lemahnya penegakan hukum membuat praktik trawl masih berlangsung di Selat Madura dan perairan Bawean.

“Sejak 1970-an, trawl masuk ke Jawa Timur dan menimbulkan konflik serius di Sidoarjo, Lamongan, dan Gresik. Nelayan kecil tersingkir, habitat ikan rusak, sementara aparat sering kesulitan mengendalikan benturan di lapangan,” ujar Wahyu.

Ia juga menyinggung kerusakan terumbu karang akibat praktik bom ikan, cantrang, serta abrasi pesisir akibat reklamasi di Surabaya, Situbondo, dan Probolinggo.

Dalam forum ini, para pemateri sepakat bahwa keadilan biru harus diarusutamakan dalam pembangunan hukum kelautan dan perikanan Indonesia. Direktur Walhi menekankan beberapa strategi konkret, di antaranya:

•              Integrasi Blue Justice dalam kurikulum dan metode pembelajaran inklusif.

•              Penelitian dosen dan mahasiswa dengan perspektif keadilan biru.

•              Pendirian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Kelautan-Perikanan berbasis keadilan biru.

•              Partisipasi aktif dalam penyusunan regulasi nasional.

•              Penguatan program pengabdian masyarakat di kawasan pesisir.

•              Optimalisasi bantuan hukum bagi masyarakat nelayan.

Moderator seminar, Laksda TNI (Purn) Dr. Agung Pramono, S.H., M.Hum., yang juga dosen Fakultas Hukum UHT, menutup diskusi dengan menegaskan bahwa keadilan biru bukan hanya wacana akademik, melainkan sebuah paradigma hukum yang harus diwujudkan dalam kebijakan dan praktik nyata.

Dalam penyelenggaraan Seminar Nasional ini, Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah menaruh harapan besar agar kegiatan tidak hanya menjadi forum akademik semata, tetapi juga menjadi ruang produktif untuk melahirkan gagasan-gagasan segar yang relevan dengan perkembangan hukum di Indonesia. UHT  juga  berharap dapat memperkuat kontribusi nyata perguruan tinggi dalam menjawab tantangan hukum di era global, memperluas jejaring akademik, serta mendorong lahirnya kajian-kajian hukum yang dapat diimplementasikan oleh para pemangku kebijakan.

Selain itu, Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah juga berharap kegiatan ini semakin memperkokoh posisi UHT sebagai pusat pengembangan ilmu hukum yang adaptif terhadap dinamika zaman, sekaligus meneguhkan komitmen kampus dalam mencetak lulusan yang tidak hanya kompeten secara akademik, tetapi juga berintegritas tinggi dan berdaya juang bagi bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *